SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Landasan Pendidikan dan
Pembelajaran
yang dibina oleh Ibu Prof. Dr. Edy
Porwanto., M.Pd.
Oleh
Muhammad Efendi
120721522248
The Learning University
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN GEOGRAFI
Desember 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembahasan
Saat ini Indonesia memerlukan sumber
daya manusia (SDM) dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama
dalam pembangunan. Pemulihan ekonomi Indonesia
saat ini yang sudah berada di jalur yang mendekati tepat masih dihantui
pembangunan manusia yang semakin merosot, oleh karena itu dibutuhkan prioritas
utama bagi "penyerasian" antara pembangunan ekonomi dan pembangunan
SDM. Perlu diingat bahwa besarnya investasi yang dilakukan di sektor SDM tidak
akan membawa hasil yang baik bagi pertumbuhan ekonomi tanpa disertai
peningkatan kualitas SDM yang dibutuhkan dan sarana-sarana penunjang.
Karakter bangsa merupakan aspek penting
dari kualitas sumber daya manusia karena kualitas karakter bangsa menentukan
kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina
sejak usia dini. Usia dini merupakan masa penentuan bagi pembentukan karakter
seseorang. Kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan
membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua
membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat
menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak.
Gaung pendidikan karakter akhir-akhir ini terdengar kian menggema. Di
mana-mana orang berbicara mengenai pendidikan karakter. Bahwa pendidikan
karakter sangat penting ditanamkan kepada anak-anak sejak usia dini, dan bahwa
pendidikan karakter akan menjadi jawaban dari berbagai persoalan yang tengah
dihadapi bangsa ini. Maka, mulailah sekolah-sekolah dan instansi pendidikan
menerapkan konsep pendidikan karakter ke dalam kurikulum yang terus
dikembangkan. Namun, jauh sebelumnya, Angku Mohammad Syafei, tokoh pendidikan
nasional yang sekaligus pendiri INS Kayutanam telah menerapkan konsep
pendidikan karakter kepada murid-muridnya di sekolah tersebut.
Pada awal pendirian perguruan INS, peserta didik Syafei hanya berjumlah
dua orang. Itu pun dengan fasilitas yang serba sederhana. Bayangkan saja,
anak-anak didik Angku Syafei belajar di sebuah ruang kelas sederhana
dengan kaleng minyak sebagai pengganti meja. Walaupun demikian, semangat
juang dan jiwa pendidik yang tertanam dalam jiwa Syafei tak pernah
luntur. Ia tak pernah mengenal kata menyerah. Segala keterbatasan
tersebut, oleh Syafei justru dijadikan sebagai cambuk untuk lebih memotivasi
diri demi tercapainya cita-cita luhur yang telah dirancangnya dari dulu, yaitu
menciptakan anak didik yang cerdas, terampil dan tidak lagi menjadi ‘buruh’
bagi Belanda. Mendapat sinyal yang positif dari masyarakat, Syafei pun berupaya
memberikan yang terbaik bagi peserta didiknya. Mulailah ia menyusun metode baru
dalam pengajaran. Fasilitas pun dibenahi. Tenpat belajar didesain sedemikian
rupa sehingga tercipta suasana belajar mengajar yang baik serta mencapai
sasaran.
Memang
kondisi Indonesia saat ini jauh berbeda dengan kondisi pada saat INS
Kayu Tanam berdiri, yang dimana pada
waktu itu Indonesia masih berada dalam era penjajahan Belanda. Untuk kondisi
masyarakat Indonesia bisa dibilang sama, karena situasi saat ini dan pada waktu
itu kita sama-sama dijajah. Hal ini yang mendasari bahwa pondasi tujuan utama INS
Kayu Tanam dapat diterapkan pada era
modern saat ini, terutama untuk meningkatkan kualitas pendidikan khususnya dan
kuantitas pada umumnya.
Oleh karena
itu, saya akan membahas sejauh mana pengaruh dari berdirinya INS
Kayu Tanam terhadap pendidikan
Indonesia saat ini, dapatkah dikolaborasikan dasar pemikiran INS
Kayu Tanam dengan pendidikan Indonesia
secara umum saat ini.
BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER MODEL MOHAMMAD SFAFEI
Pendidikan yang diajarkan oleh Syafei di INS Kayutanam menekankan siswa
untuk bisa menyeimbangkan antara kerja, pikiran, dan perasaan. Hal ini kemudian
diwujudkannya ke dalam tiga bidang pendidikan, yakni ‘tangan’, ‘otak’ dan ‘hati’.
Tangan merupakan metafora dari kreatifitas dan kerja keras; Otak merupakan
perlambangan dari pendidian akedemis dan hal-hal yang berkaitan dengan
psikomotor; sedangkan hati merupakan simbolisasi dari spritualitas atau hal-hal
menyangkut kehidupan pribadi, akhlak mulia dan ibadah. Ketiga bidang inilah,
menurut Syafei yang akan menjadikan anak didik menjadi sosok yang kreatif,
pintar serta berakhlak mulia. Kekurangan salah satu dari yang tiga itu akan
membuat seeorang sulit diterima dengan baik dalam masyarakat.
Ketiga hal tersebut (tangan, otak dan hati) ibarat ‘tungku tigo
sajarangan’ dalam falsafah adat Minangkabau, yang takkan mungkin
dipisahkan satu sama lain. Bisa dibayangkan, andaikan batu tungku hanya dua,
mana mungkin periuk bisa diletakkan. Apalagi hanya satu. Mungkin inilah yang
menjadi dasar pemikiran bagi Syafei dalam mengembangkan pola pendidikan di INS
Kayutanam.
Sebagai individu yang menjunjung tinggi adat dan budaya tempat ia
mengabdi, Syafei pun tak lupa memuat ajaran-ajaran atau nilai-nilai adat
tersebut dalam sistem pendidikan di INS Kayutanam. Adat dan kearifan
lokal (local wisdom) menjadi bagian tak terpisahkan dari kurikulum
yang diciptakan Syafei. Ini terlihat dari beberapa nasehat-nasehat/petuah adat
yang ‘terselip’ dalam falsafah pendidikan yang ia gagas.
Pengaruh kultur Minangkabau yang kuat tampak dalam falsafah yang
memanifestasikan alam sebagai sumber dari segala disiplin ilmu. Bahwa alam adalah
guru bagi orang yang ‘membaca’ dengan sepenuh jiwa. Maka, Syafei pun memperkaya
pola pikir peserta didiknya dengan ‘alam takambang menjadi guru’.
Artinya, segala fenomena yang terjadi di alam ini dapat menjadi
acuan/sumber ajaran layaknya guru bagi seseorang untuk lebih menggali dan
mendalami ilmu pengetahuan.
Lebih jauh, pengaruh adat Minangkabau dalam konsep pendidikan Syafei
tampak dalam filosofi yang ia gagas, “Jangan minta buah mangga pada pohon
rambutan, tapi jadikanlah setiap pohon berbuah manis.” Apa yang
diungkapkan oleh Syafei ini memiliki makna yang begitu mendalam dan
terkesan sangat demokratis. Bahwa setiap peserta didik, sebagai manusia biasa,
tentu tidak akan terlepas dari berbagai kekurangan dan ketidaksempurnaan, serta
mempunyai keistimewaan masing-masing.
Watak (characteristic), kegemaran, cita-cita, ketrampilan (skill)
serta pandangan hidup (way of life) manusia tentu berbeda satu sama
lain. Pendidikan yang diberikan tentu tidak akan mencapai sasaran jika
konsep yang ditanamkan tidak mampu ‘memahami’ segala perbedaan tersebut.
Situasi dan pemikiran semacam inilah yang kemudian mendorong Syafei untuk
menciptakan serta melaksanakan falsafah pendidikan tersebut di INS
Kayutanam.
Untuk menyiasati hal itulah, Syafei merumuskan kurikulum INS Kayutanam
ke dalam tiga bidang pengajaran, yakni Akedemik (otak), Kreatifitas (tangan)
dan Akhlak Mulia (hati). Di Akedemis, siswa dibekali pengetahuan umum layaknya
sekolah biasa, meski lebih ditekankan pada penguasaan materi dan aplikasi di
lapangan. Sementara itu, Bidang Kreatifitas dibagi lagi menjadi beberapa
sub-bidang ketrampilan seperti pertukangan, keramik, kriya, seni ukir, seni
lukis, sanggar musik, teater, sastra, dan beberapa ketrampilan lainnya.
Sedangkan hal-hal yang menyangkut kecerdasan spiritual, diramu dan
diaplikasikan dalam bidang Akhlak Mulia. Ketiga bidang ini tak bisa dipisahkan
satu sama lain. Ketiganya harus saling mengisi dan saling menopang dalam wacana
menciptakan inteletual yang berakhlak mulia, berintegritas dan beretos kerja
keras.
Jika pendidikan akademis menekankan pada kemampuan menyerap ilmu
pengetahuan sebagai bekal kekayaan intelektual, pendidikan kreatifitas lebih
mendorong dan merangsang siswa untuk menjadi pribadi yang kreatif, inovatif dan
mempunyai daya saing, selain menjadikan siswa sebagai generasi yang mandiri dan
mempunyai ketrampilan hidup (life skill). Tamatan yang dihasilkan
diharapkan mampu bersaing di masyarakat serta tidak canggung ketika dihadapkan
pada situasi apapun. Dengan demikian, siswa tidak hanya diajarkan untuk
bersikap kreatif, tapi juga dibimbang untuk tidak ‘hanya’ menjadi orang yang
‘dipekerjakan’ melainkan menjadi orang yang ‘memperkerjakan’ (menciptakan
lapangan kerja baru).
Meski kedua bidang tersebut (akademis dan kreatifitas) sudah dikuasai,
namun tujuan pendidikan yang digagas Syafei belum cukup sampai di situ.
Kecerdasan akademis dan kreatifitas hanyalah modal untuk kehidupan duniawi.
Oleh karena itu, Syafei juga menekankan pentingnya kecerdasan spiritual. Sebab,
ranah kecerdasan ini akan menjadi penyelaras bagi peserta didik dalam menjalani
kehidupan. Kecerdasan spiritual akan mendorong manusia untuk tetap berjalan
pada rel yang telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, yang pada gilirannya akan
menciptakan lulusan yang berkarakter, dengan gaya hidup yang madani dan
terhindar dari berbagai tindak amoral serta kecurangan seperti praktek KKN yang
boleh dikatakan sudah mendarah daging di hampir semua generasi bangsa ini.
Membangun karakter manusia tentu tidak segampang membalikkan telapak tangan.
Butuh proses yang panjang agar ‘karakter’ yang baik bisa tertanam dan menjadi
bagian dari kehidupan generasi pelanjut bangsa. Syafei pun sangat sadar akan
hal ini. Untuk mendapatkan sesuatu yang unggul, cara-cara instan tentu bukanlah
jalan yang bijak untuk ditempuh.
Pendidikan ala Syafei tidak terbatas hanya pada ruang kelas. Pendidikan
merupakan proses panjang yang melibatkan keseluruhan aktifitas sehari-hari,
mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. Setiap gerak-gerik dan
tindak-tanduk para peserta didik tak terlepas dari pantauan Angku Syafei. Jika
ada yang kedapatan melakukan kesalahan, maka yang bersangkutan akan ditanyai
apakah ia tahu dan sadar akan kesalahan yang telah ia perbuat. Hukuman kemudian
diberikan bukan sekadar ‘efek jera’ belaka, namun juga sebagai bagian dari
proses pendidikan tersebut.
Syafei paham bahwa setiap anak dilahirkan dengan bakat serta watak yang
berbeda-beda. Hukuman yang diberikan bagi mereka yang berbuat salah bisa jadi
dipandang berbeda oleh para peserta didik. Namun, satu hal yang pasti, Syafei
percaya bahwa suatu saat kelak peserta didik akan sadar dan mengetahui hakihat
dari hukuman yang diberikan kepadanya, sehingga akan menjadi pelajaran yang
sangat berharga dan melekat sepanjang hidupnya. Karakter peserta didik dibangun
secara bertahap, namun pasti.
Konsep pendidikan yang mensinergikan antara tangan, otak dan hati yang
diterapkan oleh Angku Syafei di INS Kayutanam menjadi contoh yang bagus dalam
penerapan pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Jika ketiga ranah kecerdasan
tersebut terintegrasi dengan baik pada setiap peserta didik, maka bukan tidak
mungkin generasi yang akan lahir nantinya adalah generasi yang cerdas, tangguh,
mandiri, beretos kerja keras, dan mempunyai akhlak mulia. Atau dengan kata lain:
generasi yang berkarakter!
BAB III
PENDIDIKAN
DI INDONESIA SAAT INI
Hingga saat ini masalah
pendidikan masih menjadi perhatian khusus oleh pemerintah. Pasalnya Indeks
Pembangunan Pendidikan Untuk Semua atau education for all (EFA) di
Indonesia menurun tiap tahunnya. Tahun 2011 Indonesia berada diperingkat 69
dari 127 negara dan merosot dibandingkan tahun 2010 yang berada pada posisi 65.
Indeks yang dikeluarkan pada tahun 2011 oleh UNESCO ini lebih rendah
dibandingkan Brunei Darussalam (34), serta terpaut empat peringkat dari
Malaysia (65).
Salah satu penyebab
rendahnya indeks pembangunan pendidikan di Indonesia adalah tingginya jumlah
anak putus sekolah. Sedikitnya setengah juta anak usia sekolah dasar (SD) dan
200 ribu anak usia sekolah menengah pertama (SMP) tidak dapat melanjutkan
pendidikan. Data pendidikan tahun 2010 juga menyebutkan 1,3 juta anak usia 7-15
tahun terancam putus sekolah. Bahkan laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan
menunjukan bahwa setiap menit ada empat anak yang putus sekolah.
Menurut Staf Ahli
Kemendikbud Prof. Dr. Kacung Marijan, Indonesia mengalami masalah pendidikan
yang komplek. Selain angka putus sekolah, pendidikan di Indonesia juga
menghadapi berbagai masalah lain, mulai dari buruknya infrastruktur hingga
kurangnya mutu guru. Masalah utama pendidikan di Indonesia adalah
kualitas guru yang masih rendah, kualitas kurikulum yang belum standar, dan
kualitas infrastruktur yang belum memadai.
Dalam
kenyataannya, pendidikan di Indonesia, memiliki kendala dalam pengembangannya,
jika dalam pelaksanaannya kurikulum yang disahkan cenderung hanya diterima
dengan sebelah hati saja. Karena kepercayaan publik sudah berkurang dengan
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam pengembangan kurikulum
pendidikan. Setiap pergantian menteri pendidikan, maka dapat dipastikan
berganti pula kebijakan yang akan dikeluarkan.
Tahun 2013 yang akan
datang, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan akan melakukan perubahan kurikulum
pendidikan nasional untuk menyeimbangkan aspek akademik dan karakter. Kurikulum
pendidikan nasional yang baru akan selesai digodok pada Februari 2013 itu
rencananya segera diterapkan setelah melewati uji publik beberapa bulan
sebelumnya.
Mengingat sering adanya
perubahan kurikulum pendidikan akan membuat proses belajar mengajar terganggu.
Karena fokus pembelajaran yang dilakukan oleh guru akan berganti mengikuti
adanya kurikulum yang baru. Terlebih jika inti kurikulum yang digunakan berbeda
dengan kurikulum lama sehingga mengakibatkan penyesuaian proses pembelajaran
yang cukup lama.
Namun, kenyataan
yang ada setelah lulus atau keluar
dari bangku sekolah, para murid ini minim akan skill yang dibutuhkan untuk
dapat hidup pada lingkungan masyarakat umum. Misalkan setelah lulus SMA, mau
tidak mau mereka harus melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi yakni
perguruan tinggi. Hal inilah yang disayangkan, pada bangku sekolah hanya materi
saja yang diberikan tanpa adanya keseimbangan dalam skill/kemampuan untuk menghadapi
permasalahan hidup.
Seharusnya
biaya pendidikan yang tergolong masih tinggi ini, juga harus diselaraskan
dengan apa yang nantinya para murid dapatkan. Namun kenyataannya terbalik,
justru mereka bingung dengan apa yang akan mereka perbuat setelah lulus dari
bangku sekolah nanti, mayoritas inilah yang menjadi pemikiran dari para siswa
di Indonesia. Tidak ada kejelasan tentang bagaimana dan apa yang harus
diperbuat setelah lulus dari bangku sekolah, dan yang pasti mereka diharuskan
untuk bersaing dengan para siswa lain untuk menetukan nasib mereka kedepannya.
Meskipun
disatu sisi pemerintah sudah memberikan kemudahan bagi para murid yang
berprestasi dalam bidang akademik untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang
lebih tinggi, hal ini belum bisa dikatakan berhasil dikarenakan tidak semua
peserta didik dapat menerima bantuan beasiswa yang dimaksudkan tadi. Terkadang
mereka yang bisa melanjutkan pada jenjang pendidikan lebih tinggi pun merasa
kesulitan apabila nanti kembali pada masyarakat. Ini dikarenakan sistem
pembelajaran yang didapat pada jenjang perkuliahan hampir sama dengan SMA,
yaitu lebih pada pemberian materi yang minim praktik, dimana setiap mahasiswa
pun juga harus berlomba-lomba dalam pencapaian indeks prestasi pada tiap
semesternya.
Jadi,
secara umum pendidikan di Indonesia belum bisa dikatakan berhasil terutama pada
pendidikan formal. Kebijakan pendidikan yang telah disusun juga harus didukung
dari berbagai pihak, namun yang terjadi birokrasi pada badan pemerintahanlah
yang justru menghambat kebijakan mulia tadi. Begitu juga keikutsertaan praktisi
pendidikan di lapangan yang semakin memperkeruh keadaan pendidikan Indonesia.
BAB IV
SOLUSI
Melihat begitu
banyaknya masalah pendidikan di Indonesia maka dibutuhkan solusi tepat untuk
mengatasinya. Adapun solusi yang penulis
coba tawarkan agar kiranya dapat membatu pemerintah untuk meringankan beban
pendidikan di Indonesia antara lain;
Untuk membatu mengatasi
masalah pendidikan dibutuhkan adanya lembaga yang membantu pemerintah untuk
meningkatkan mutu pendidikan, menjaring kerjasama untuk memperoleh dana
pendidikan, dan menggalang dukungan untuk pendidikan yang lebih baik. Lembaga
perantara tersebut bekerjasama dengan pemerintah, pihak swasta, dan kelompok
masyarakat untuk bersama-sama memberbaiki kualitas pendidikan di Indonesia
mengingat tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama.
Selanjutnya
bisa mengkolaborasikan tungku tigo sajarangan (tangan, otak dan hati) yang
digagaskan oleh Mohammad Syafei pada pondasi pendidikan Indonesia saat ini. Hal ini
untuk membentuk manusia Indonesia yang mengikuti kemajuan dunia namun tetap
berpegang teguh kepada kebudayaan kebangsaan yang lebih mementingkan
kepentingan umum secara lahir dan batin pada tiap-tiap zaman dan keadaan.
DAFTAR RUJUKAN
Pidarta, 2009. Landasan Kependidikan edisi ke-2. Jakarta: Rineka Cipta.
Zaenuddin,
2008. Reformasi Pendidikan. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta.
---------http : www.google.com. 01Januari 2011. Sistem
Pendidikan Indonesia
---------http://positivego.blogspot.com/2012/11/masalah-pendidikan-di-indonesia.html
--------http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/21/pendidikan-karakter-di-ins-kayutanam-448162.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar