Senin, 11 Maret 2013

SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA



SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA



UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Landasan Pendidikan dan Pembelajaran
yang dibina oleh Ibu Prof. Dr. Edy Porwanto., M.Pd.





Oleh
Muhammad Efendi
120721522248




The Learning University




UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN GEOGRAFI
Desember  2012






BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Pembahasan
Saat ini Indonesia memerlukan sumber daya manusia (SDM) dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Pemulihan ekonomi Indonesia saat ini yang sudah berada di jalur yang mendekati tepat masih dihantui pembangunan manusia yang semakin merosot, oleh karena itu dibutuhkan prioritas utama bagi "penyerasian" antara pembangunan ekonomi dan pembangunan SDM. Perlu diingat bahwa besarnya investasi yang dilakukan di sektor SDM tidak akan membawa hasil yang baik bagi pertumbuhan ekonomi tanpa disertai peningkatan kualitas SDM yang dibutuhkan dan sarana-sarana penunjang.
Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas sumber daya manusia karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa penentuan bagi pembentukan karakter seseorang. Kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak. 
Gaung pendidikan karakter akhir-akhir ini terdengar kian menggema. Di mana-mana orang berbicara mengenai pendidikan karakter. Bahwa pendidikan karakter sangat penting ditanamkan kepada anak-anak sejak usia dini, dan bahwa pendidikan karakter akan menjadi jawaban dari berbagai persoalan yang tengah dihadapi bangsa ini. Maka, mulailah sekolah-sekolah dan instansi pendidikan menerapkan konsep pendidikan karakter ke dalam kurikulum yang terus dikembangkan. Namun, jauh sebelumnya, Angku Mohammad Syafei, tokoh pendidikan nasional yang sekaligus pendiri INS Kayutanam telah menerapkan konsep pendidikan karakter kepada murid-muridnya di sekolah tersebut.  
Pada awal pendirian perguruan INS, peserta didik Syafei hanya berjumlah dua orang.  Itu pun dengan fasilitas yang serba sederhana. Bayangkan saja, anak-anak didik Angku Syafei belajar di sebuah ruang kelas sederhana dengan  kaleng minyak sebagai pengganti meja. Walaupun demikian, semangat juang dan jiwa pendidik yang tertanam dalam jiwa Syafei  tak pernah luntur. Ia tak pernah mengenal kata menyerah.  Segala keterbatasan tersebut, oleh Syafei justru dijadikan sebagai cambuk untuk lebih memotivasi diri demi tercapainya cita-cita luhur yang telah dirancangnya dari dulu, yaitu menciptakan anak didik yang cerdas, terampil dan tidak lagi menjadi ‘buruh’ bagi Belanda. Mendapat sinyal yang positif dari masyarakat, Syafei pun berupaya memberikan yang terbaik bagi peserta didiknya. Mulailah ia menyusun metode baru dalam pengajaran. Fasilitas pun dibenahi. Tenpat belajar didesain sedemikian rupa sehingga tercipta suasana belajar mengajar yang baik serta mencapai sasaran.
 Memang kondisi Indonesia saat ini jauh berbeda dengan kondisi pada saat INS Kayu Tanam berdiri, yang dimana pada waktu itu Indonesia masih berada dalam era penjajahan Belanda. Untuk kondisi masyarakat Indonesia bisa dibilang sama, karena situasi saat ini dan pada waktu itu kita sama-sama dijajah. Hal ini yang mendasari bahwa pondasi tujuan utama INS Kayu Tanam dapat diterapkan pada era modern saat ini, terutama untuk meningkatkan kualitas pendidikan khususnya dan kuantitas pada umumnya.
Oleh karena itu, saya akan membahas sejauh mana pengaruh dari berdirinya INS Kayu Tanam terhadap pendidikan Indonesia saat ini, dapatkah dikolaborasikan dasar pemikiran INS Kayu Tanam dengan pendidikan Indonesia secara umum saat ini.


BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER MODEL MOHAMMAD SFAFEI


Pendidikan yang diajarkan oleh Syafei di INS Kayutanam menekankan siswa untuk bisa menyeimbangkan antara kerja, pikiran, dan perasaan. Hal ini kemudian diwujudkannya ke dalam tiga bidang pendidikan, yakni ‘tangan’, ‘otak’ dan ‘hati’. Tangan merupakan metafora dari kreatifitas dan kerja keras; Otak merupakan perlambangan dari pendidian akedemis dan hal-hal yang berkaitan dengan psikomotor; sedangkan hati merupakan simbolisasi dari spritualitas atau hal-hal menyangkut kehidupan pribadi, akhlak mulia dan ibadah. Ketiga bidang inilah, menurut Syafei yang akan menjadikan anak didik menjadi sosok yang kreatif, pintar serta berakhlak mulia. Kekurangan salah satu dari yang tiga itu akan membuat seeorang sulit diterima dengan baik dalam masyarakat.
Ketiga hal tersebut (tangan, otak dan hati) ibarat ‘tungku tigo sajarangan’ dalam falsafah adat Minangkabau, yang takkan mungkin dipisahkan satu sama lain. Bisa dibayangkan, andaikan batu tungku hanya dua, mana mungkin periuk bisa diletakkan. Apalagi hanya satu. Mungkin inilah yang menjadi dasar pemikiran bagi Syafei dalam mengembangkan pola pendidikan di INS Kayutanam.
Sebagai individu yang menjunjung tinggi adat dan budaya tempat ia mengabdi, Syafei pun tak lupa memuat ajaran-ajaran atau nilai-nilai adat tersebut dalam sistem  pendidikan di INS Kayutanam. Adat dan kearifan lokal (local wisdom) menjadi bagian tak terpisahkan dari kurikulum yang diciptakan Syafei. Ini terlihat dari beberapa nasehat-nasehat/petuah adat yang ‘terselip’ dalam  falsafah pendidikan yang ia gagas.
Pengaruh kultur Minangkabau yang kuat tampak  dalam falsafah yang memanifestasikan alam sebagai sumber dari segala disiplin ilmu. Bahwa alam adalah guru bagi orang yang ‘membaca’ dengan sepenuh jiwa. Maka, Syafei pun memperkaya pola pikir peserta didiknya dengan ‘alam takambang menjadi guru’. Artinya, segala  fenomena yang terjadi di alam ini dapat menjadi acuan/sumber ajaran layaknya guru bagi seseorang untuk lebih menggali dan mendalami ilmu pengetahuan.
Lebih jauh, pengaruh adat Minangkabau dalam konsep pendidikan Syafei tampak dalam filosofi yang ia gagas, “Jangan minta buah mangga pada pohon rambutan, tapi jadikanlah setiap pohon berbuah manis.” Apa yang diungkapkan oleh Syafei ini memiliki makna yang begitu mendalam  dan terkesan sangat demokratis. Bahwa setiap peserta didik, sebagai manusia biasa, tentu tidak akan terlepas dari berbagai kekurangan dan ketidaksempurnaan, serta mempunyai keistimewaan masing-masing.
Watak (characteristic), kegemaran, cita-cita, ketrampilan (skill) serta pandangan hidup (way of life) manusia tentu berbeda satu sama lain.  Pendidikan yang diberikan tentu tidak akan mencapai sasaran jika konsep yang ditanamkan tidak mampu ‘memahami’ segala perbedaan tersebut. Situasi dan pemikiran semacam inilah yang kemudian mendorong Syafei untuk menciptakan serta melaksanakan falsafah  pendidikan tersebut di INS Kayutanam.
Untuk menyiasati hal itulah, Syafei merumuskan kurikulum INS Kayutanam ke dalam tiga bidang pengajaran, yakni Akedemik (otak), Kreatifitas (tangan) dan Akhlak Mulia (hati). Di Akedemis, siswa dibekali pengetahuan umum layaknya sekolah biasa, meski lebih ditekankan pada penguasaan materi dan aplikasi di lapangan. Sementara itu, Bidang Kreatifitas dibagi lagi menjadi beberapa sub-bidang ketrampilan seperti pertukangan, keramik, kriya, seni ukir, seni lukis, sanggar musik, teater, sastra, dan beberapa ketrampilan lainnya. Sedangkan hal-hal yang menyangkut kecerdasan spiritual, diramu dan diaplikasikan dalam bidang Akhlak Mulia. Ketiga bidang ini tak bisa dipisahkan satu sama lain. Ketiganya harus saling mengisi dan saling menopang dalam wacana menciptakan inteletual yang berakhlak mulia, berintegritas dan beretos kerja keras.
Jika pendidikan akademis menekankan pada kemampuan menyerap ilmu pengetahuan sebagai bekal kekayaan intelektual, pendidikan kreatifitas lebih mendorong dan merangsang siswa untuk menjadi pribadi yang kreatif, inovatif dan mempunyai daya saing, selain menjadikan siswa sebagai generasi yang mandiri dan mempunyai ketrampilan hidup (life skill). Tamatan yang dihasilkan diharapkan mampu bersaing di masyarakat serta tidak canggung ketika dihadapkan pada situasi apapun. Dengan demikian, siswa tidak hanya diajarkan untuk bersikap kreatif, tapi juga dibimbang untuk tidak ‘hanya’ menjadi orang yang ‘dipekerjakan’ melainkan menjadi orang yang ‘memperkerjakan’ (menciptakan lapangan kerja baru).
Meski kedua bidang tersebut (akademis dan kreatifitas) sudah dikuasai, namun tujuan pendidikan yang digagas Syafei belum cukup sampai di situ. Kecerdasan akademis dan kreatifitas hanyalah modal untuk kehidupan duniawi. Oleh karena itu, Syafei juga menekankan pentingnya kecerdasan spiritual. Sebab, ranah kecerdasan ini akan menjadi penyelaras bagi peserta didik dalam menjalani kehidupan. Kecerdasan spiritual akan mendorong manusia untuk tetap berjalan pada rel yang telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, yang pada gilirannya akan menciptakan lulusan yang berkarakter, dengan gaya hidup yang madani dan terhindar dari berbagai tindak amoral serta kecurangan seperti praktek KKN yang boleh dikatakan sudah mendarah daging di hampir semua generasi bangsa ini.
Membangun karakter manusia tentu tidak segampang membalikkan telapak tangan. Butuh proses yang panjang agar ‘karakter’ yang baik bisa tertanam dan menjadi bagian dari kehidupan generasi pelanjut bangsa. Syafei pun sangat sadar akan hal ini. Untuk mendapatkan sesuatu yang unggul, cara-cara instan tentu bukanlah jalan yang bijak untuk ditempuh.
Pendidikan ala Syafei tidak terbatas hanya pada ruang kelas. Pendidikan merupakan proses panjang yang melibatkan keseluruhan aktifitas sehari-hari, mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. Setiap gerak-gerik dan tindak-tanduk para peserta didik tak terlepas dari pantauan Angku Syafei. Jika ada yang kedapatan melakukan kesalahan, maka yang bersangkutan akan ditanyai apakah ia tahu dan sadar akan kesalahan yang telah ia perbuat. Hukuman kemudian diberikan bukan sekadar ‘efek jera’ belaka, namun juga sebagai bagian dari proses pendidikan tersebut.
Syafei paham bahwa setiap anak dilahirkan dengan bakat serta watak yang berbeda-beda. Hukuman yang diberikan bagi mereka yang berbuat salah bisa jadi dipandang berbeda oleh para peserta didik. Namun, satu hal yang pasti, Syafei percaya bahwa suatu saat kelak peserta didik akan sadar dan mengetahui hakihat dari hukuman yang diberikan kepadanya, sehingga akan menjadi pelajaran yang sangat berharga dan melekat sepanjang hidupnya. Karakter peserta didik dibangun secara bertahap, namun pasti.
Konsep pendidikan yang mensinergikan antara tangan, otak dan hati yang diterapkan oleh Angku Syafei di INS Kayutanam menjadi contoh yang bagus dalam penerapan pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Jika ketiga ranah kecerdasan tersebut terintegrasi dengan baik pada setiap peserta didik, maka bukan tidak mungkin generasi yang akan lahir nantinya adalah generasi yang cerdas, tangguh, mandiri, beretos kerja keras, dan mempunyai akhlak mulia. Atau dengan kata lain: generasi yang berkarakter!


BAB III
PENDIDIKAN DI INDONESIA SAAT INI
  
Hingga saat ini masalah pendidikan masih menjadi perhatian khusus oleh pemerintah. Pasalnya Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk Semua atau education for all (EFA) di Indonesia menurun tiap tahunnya. Tahun 2011 Indonesia berada diperingkat 69 dari 127 negara dan merosot dibandingkan tahun 2010 yang berada pada posisi 65. Indeks yang dikeluarkan pada tahun 2011 oleh UNESCO ini lebih rendah dibandingkan Brunei Darussalam (34), serta terpaut empat peringkat dari Malaysia (65).
Salah satu penyebab rendahnya indeks pembangunan pendidikan di Indonesia adalah tingginya jumlah anak putus sekolah. Sedikitnya setengah juta anak usia sekolah dasar (SD) dan 200 ribu anak usia sekolah menengah pertama (SMP) tidak dapat melanjutkan pendidikan. Data pendidikan tahun 2010 juga menyebutkan 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah. Bahkan laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan menunjukan bahwa setiap menit ada empat anak yang putus sekolah.
Menurut Staf Ahli Kemendikbud Prof. Dr. Kacung Marijan, Indonesia mengalami masalah pendidikan yang komplek. Selain angka putus sekolah, pendidikan di Indonesia juga menghadapi berbagai masalah lain, mulai dari buruknya infrastruktur hingga kurangnya mutu guru. Masalah utama pendidikan di Indonesia adalah kualitas guru yang masih rendah, kualitas kurikulum yang belum standar, dan kualitas infrastruktur yang belum memadai.
Dalam kenyataannya, pendidikan di Indonesia, memiliki kendala dalam pengembangannya, jika dalam pelaksanaannya kurikulum yang disahkan cenderung hanya diterima dengan sebelah hati saja. Karena kepercayaan publik sudah berkurang dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam pengembangan kurikulum pendidikan. Setiap pergantian menteri pendidikan, maka dapat dipastikan berganti pula kebijakan yang akan dikeluarkan.

Tahun 2013 yang akan datang, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan akan melakukan perubahan kurikulum pendidikan nasional untuk menyeimbangkan aspek akademik dan karakter. Kurikulum pendidikan nasional yang baru akan selesai digodok pada Februari 2013 itu rencananya segera diterapkan setelah melewati uji publik beberapa bulan sebelumnya.
Mengingat sering adanya perubahan kurikulum pendidikan akan membuat proses belajar mengajar terganggu. Karena fokus pembelajaran yang dilakukan oleh guru akan berganti mengikuti adanya kurikulum yang baru. Terlebih jika inti kurikulum yang digunakan berbeda dengan kurikulum lama sehingga mengakibatkan penyesuaian proses pembelajaran yang cukup lama.
Namun, kenyataan yang ada setelah lulus atau keluar dari bangku sekolah, para murid ini minim akan skill yang dibutuhkan untuk dapat hidup pada lingkungan masyarakat umum. Misalkan setelah lulus SMA, mau tidak mau mereka harus melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi yakni perguruan tinggi. Hal inilah yang disayangkan, pada bangku sekolah hanya materi saja yang diberikan tanpa adanya keseimbangan dalam skill/kemampuan untuk menghadapi permasalahan hidup.
Seharusnya biaya pendidikan yang tergolong masih tinggi ini, juga harus diselaraskan dengan apa yang nantinya para murid dapatkan. Namun kenyataannya terbalik, justru mereka bingung dengan apa yang akan mereka perbuat setelah lulus dari bangku sekolah nanti, mayoritas inilah yang menjadi pemikiran dari para siswa di Indonesia. Tidak ada kejelasan tentang bagaimana dan apa yang harus diperbuat setelah lulus dari bangku sekolah, dan yang pasti mereka diharuskan untuk bersaing dengan para siswa lain untuk menetukan nasib mereka kedepannya.
Meskipun disatu sisi pemerintah sudah memberikan kemudahan bagi para murid yang berprestasi dalam bidang akademik untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi, hal ini belum bisa dikatakan berhasil dikarenakan tidak semua peserta didik dapat menerima bantuan beasiswa yang dimaksudkan tadi. Terkadang mereka yang bisa melanjutkan pada jenjang pendidikan lebih tinggi pun merasa kesulitan apabila nanti kembali pada masyarakat. Ini dikarenakan sistem pembelajaran yang didapat pada jenjang perkuliahan hampir sama dengan SMA, yaitu lebih pada pemberian materi yang minim praktik, dimana setiap mahasiswa pun juga harus berlomba-lomba dalam pencapaian indeks prestasi pada tiap semesternya.
Jadi, secara umum pendidikan di Indonesia belum bisa dikatakan berhasil terutama pada pendidikan formal. Kebijakan pendidikan yang telah disusun juga harus didukung dari berbagai pihak, namun yang terjadi birokrasi pada badan pemerintahanlah yang justru menghambat kebijakan mulia tadi. Begitu juga keikutsertaan praktisi pendidikan di lapangan yang semakin memperkeruh keadaan pendidikan Indonesia.


BAB IV
SOLUSI


Melihat begitu banyaknya masalah pendidikan di Indonesia maka dibutuhkan solusi tepat untuk mengatasinya. Adapun solusi  yang penulis coba tawarkan agar kiranya dapat membatu pemerintah untuk meringankan beban pendidikan di Indonesia antara lain;
Untuk membatu mengatasi masalah pendidikan dibutuhkan adanya lembaga yang membantu pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, menjaring kerjasama untuk memperoleh dana pendidikan, dan menggalang dukungan untuk pendidikan yang lebih baik. Lembaga perantara tersebut bekerjasama dengan pemerintah, pihak swasta, dan kelompok masyarakat untuk bersama-sama memberbaiki kualitas pendidikan di Indonesia mengingat tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama.
Selanjutnya bisa mengkolaborasikan tungku tigo sajarangan  (tangan, otak dan hati)  yang digagaskan oleh Mohammad Syafei pada pondasi pendidikan Indonesia saat ini. Hal ini untuk membentuk manusia Indonesia yang mengikuti kemajuan dunia namun tetap berpegang teguh kepada kebudayaan kebangsaan yang lebih mementingkan kepentingan umum secara lahir dan batin pada tiap-tiap zaman dan keadaan.


DAFTAR  RUJUKAN


Sukardjo,Komarudin, 2010. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya (cetakan ke-4). Jakarta: Rajawali Pers. 
Pidarta, 2009. Landasan Kependidikan edisi ke-2. Jakarta: Rineka Cipta.
Zaenuddin, 2008. Reformasi Pendidikan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
---------http : www.google.com. 01Januari  2011. Sistem Pendidikan Indonesia
---------http://positivego.blogspot.com/2012/11/masalah-pendidikan-di-indonesia.html
--------http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/21/pendidikan-karakter-di-ins-kayutanam-448162.html


Tidak ada komentar: